Home » Pendidikan » Perempuan Dalam Perspektif Laki-Laki

Perempuan Dalam Perspektif Laki-Laki

Advertisement


Perempuan Dalam Perspektif Laki-Laki
Perempuan Dalam Perspektif Laki-laki - Sebagai seorang laki-laki, penulis agak kebingungan ketika diminta bercerita tentang perempuan. Dengan perasaan yang meluap-luap sebagai bentuk ekspresi kegemasan, penulis hanya bisa mereka-reka darimana tulisan ini dimulai karena adanya kebingungan dalam menentukan penggunaan kata yang tepat antara wanita dan perempuan agar nantinya tidak ada pihak yang merasa terluka. Namun yang jelas, kita mengenal ada dua predikat atau nama yang disandangkan pada makhluk Tuhan satu ini. Sebagian menyebutnya ‘wanita’, sementara ada pihak lain yang lebih senang memanggilnya ‘perempuan’. Kebanyakan orang –dalam hal ini laki-laki- boleh tidak risih dan merasa tidak punya pretensi apapun atas dua nama di atas tadi walau tidak demikian dengan kaum Hawa.Dalam hal ini, laki-laki nampaknya memahami benar ungkapan Shakespeare “what’s a name?”

Namun bagi perempuan yang sisi feminitasnya lebih kentara, akan menolak penamaan dirinya dengan panggilan ‘wanita’ karena terkesan eksploitatif sekaligus mempertegas posisinya yang tersubordinasi. Menyetujui penamaan tadi akan sangat rentan disalahpahami sebagai sikap apatis terhadap sejarah dan masa depan perempuan. Bagi kaum feminis (baik laki-laki atau perempuan), penamaan perempuan dengan panggilan ‘perempuan’ akan mewakili tiga hal fundamental yaitu kelembutan, kekuatan dan kecerdasan sekaligus diharapkan mampu mengoreksi sejarah perempuan.

Sebab perempuan dalam perjalanan sejarah selalu saja diperlakukan tidak adil dan dipahami sebagai sumber problematika sebuah peradaban. Bermula dari keyakinan teologi bahwa Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam, kemudian Hawa disalahkan atas terusirnya Adam,juga ada Iqlima yang diyakini sebagai biang keributan antara Qabil dan Habil. Berlanjut dalam mitos Yahudi yang mengatakan bahwa Hawa hanyalah istri kedua Adam, karena sebelumnya dikenal figur Lillith yang menolak untuk selalu dijadikan pelayan Adam. Akibatnya, sejarah hitam perempuan diyakini sebagai sesuatu yang kodrati. Belum lagi sumber hukum agama yang cenderung bernapaskan misogini.Kalau boleh dikatakan, sejarah hanya menyelamatkan perempuan ketika masa Nabi dan itupun tidak bisa dilanjutkan dengan baik paska meninggalnya Nabi.

Dengan sedikit melompat, dalam konteks kekinian, perempuan adalah elemen terpenting dalam proses pembangunan peradaban. Ia tidak lagi dianggap sebagai ornamen alias pernak-pernik kehidupan. Hanya saja persoalannya sekarang, sosok seperti apa yang diharapkan dari pribadi perempuan agar masa depan perempuan tidak seburam sejarahnya? Atau dalam bahasa lain, bagaimana kriteria perempuan ideal menurut masyarakat,dalam hal ini menurut laki-laki sebagai relasi atau partner perempuan dalam proses interaksi?

Perempuan ideal (maaf, penulis tidak memakai istilah wanita ideal) dalam perspektif laki-laki adalah perempuan yang trenyuh ketika diposisikan sebagai ‘wanita’. Karena dalam penamaan ini, mengesankan adanya ketertindasan, ketidaksetaraan, pelecehan dan pelestarian budaya patriarkis. Sepele memang, tetapi memiliki side effect yang luar biasa. Dan ini biasanya jarang diperhatikan oleh perempuan. Secara natural, memang mayoritas laki-laki pada mulanya menganggap penting dan memprioritaskan hal-hal yang bersifat lahiriah. Kecantikan, postur tubuh, gaya berpakaian atau bahkan warna kulit. Namun seiring berjalannya proses kedewasaan,itu semua menjadi pilihan kedua. Laki-laki lebih tertarik dengan inner beauty yang bersifat abadi, dengan kelembutan sebagai wujud feminitas, dengan kekuatan sebagai bentuk maskulinitas yang dititipkan Tuhan untuk merubah nasibnya, dan dengan kecerdasan yang diimplementasikan dalam sikap mau belajar dalam segala hal serta komitmen yang berkesinambungan.

Tragisnya, perempuan selama ini lebih banyak memimpikan dirinya bak ‘Cinderella’. Berharap dapat sepatu kaca yang mampu merubah jalan hidupnya. Perempuan hanya berteriak serak “ Aku perempuan. Pahamilah keadaanku!” Atau mungkin, hanya sekedar mewacanakan bagaimana kriteria ‘potret wanita ideal’ yang seharusnya dipenuhi oleh perempuan. Perilaku dan paradigma semacam ini yang justru menahan masyarakat untuk tidak beranjak menuju tatanan matriarki dan makin menyuburkan kultur-kultur androsentris.

Kini, yang ditunggu oleh masyarakat adalah aksi nyata dari perempuan. Masyarakat mungkin tidak berharap para perempuan menjadi seradikal Ameenah Wadoud dalam memperjuangkan konsep emansipasinya. Masyarakat hanya memimpikan adanya Kartini,Ratna Megawangi,Fatimah Mernissi, Andrea Dworkin dan Nawal Sa’dawi baru. Sementara di pihak yang berlainan, masyarakat (baca;laki-laki) akan membantunya dengan melahirkan figur-figur semodel Qasim Amin, dan Husein Muhammad.

Problemnya sekarang adalah bagaimana caranya perempuan dapat bergerak menuju tipe ideal yang didambakan masyarakat. Secara praksis memang sangat sederhana namun butuh komitmen kuat yang bisa dipertanggungjawabkan. Masyarakat hanya ingin para perempuan membuang pola pikir instan yang lebih mengedepankan perasaan sehingga mampu mengangkat harkat dan martabatnya tanpa adanya ketergantungan terhadap pihak lain. Perempuan dituntut untuk mampu bersolek tidak hanya dengan bedak dan parfum yang meninggalkan kesan-kesan terdalam atas jiwa seseorang. Namun, mampu mempercantik diri dengan keluasan ilmu, minat yang tinggi terhadap optimalisasi daya intelektual. Perempuan yang mempunyai daya tarik adalah perempuan yang tidak menjual kelembutannya sebagai kelemahan tetapi menjadikannya sebagai bekal aktualisasi diri dan yang tidak menutupi ketidaktahuannya dengan kecantikan.

Pada akhirnya, parameter ideal dan tidak ideal memang relatif dan nisbi adanya. Pun tidak tunduk di bawah kriteria yang ditawarkan oleh siapapun. Namun boleh dikatakan, perempuan yang ideal bagi dirinya dan lingkungannya adalah perempuan yang memahami benar bahwa peran aktifnya di masyarakat harus disangga oleh keyakinan, cita-cita tinggi, dan kemauan untuk belajar sebagai pertanggungjawaban terhadap Tuhan yang telah menciptakannya sebagai seorang perempuan. Seraya berharap-harap cemas, dunia menanti para perempuan untuk menjadi ‘perempuan’, bukan ‘wanita’.
Advertisement

Bagikan Artikel Ini Keteman anda Melalui :

0 comments:

Post a Comment